JAKARTA, – BOGOR, 1945–1949 — Di tengah gemuruh Revolusi Fisik, ketika senjata adalah raja dan darah adalah harga kemerdekaan, ada seorang pemuda Tionghoa yang bertarung dengan caranya sendiri. Ia bukan seorang prajurit di garis depan, melainkan Lie Eng Hok, seorang kurir rahasia yang menguasai seni menyusup dan bertahan. Mengapa NICA (Belanda) rela membayar mahal untuk kepalanya, menganggapnya lebih berbahaya daripada satu batalion tentara?
Inilah kisah Lie Eng Hok, seorang patriot yang rela mempertaruhkan nyawa di balik garis musuh, menjadi tulang punggung komunikasi rahasia Republik yang terpecah-belah.
I. Jaringan Bawah Tanah: Kurir Paling Dicari NICA
Lie Eng Hok adalah pemuda Tionghoa yang lahir di Bogor pada tahun 1923. Ia tumbuh di tengah masyarakat yang kompleks, namun ketika Proklamasi berkumandang, loyalitasnya tak terbelah: ia memilih Republik.
Alih-alih angkat senjata secara langsung, Lie Eng Hok memilih peran yang jauh lebih krusial dan berisiko: menjadi kurir rahasia untuk para pemimpin Republik. Ini bukan sekadar mengantar surat; ini adalah tugas mata-mata yang membutuhkan keberanian dan kecerdikan luar biasa.
Setelah Agresi Militer Belanda I (1947), komunikasi antara Jakarta dan wilayah Republik di pedalaman Jawa Barat terputus. Lie Eng Hok menjadi salah satu jembatan hidup yang menghubungkan dua kubu. Ia bolak-balik antara Jakarta (yang dikuasai Belanda) dan wilayah Republik di Bogor dan sekitarnya. Setiap perjalanan adalah pertaruhan nyawa.
II. Sandi Rahasia dan Keahlian Menyamar
Apa yang membuat Lie Eng Hok begitu efektif dan sulit ditangkap?
Ia tidak hanya membawa pesan tertulis, tetapi juga menghafal sandi-sandi rahasia, informasi intelijen, dan instruksi penting yang harus disampaikan dari satu pejabat Republik ke pejabat lainnya.
Statusnya sebagai keturunan Tionghoa memungkinkan dia untuk bergerak di antara komunitas Tionghoa yang tersebar luas, terkadang menjadi jaring pengaman tak terduga yang membantu pergerakannya di wilayah musuh.
Lie Eng Hok belajar membaca situasi, menyamar sebagai pedagang atau warga biasa. Ia menghindari pos-pos penjagaan Belanda dengan rute-rute tikus yang tak terduga. Setiap pengintaian dan setiap pergerakan adalah pertaruhan yang bisa berakhir di tiang gantungan.
III. Ancaman Mati dan Harga Sebuah Kepala
Aktivitas Lie Eng Hok yang tanpa henti dan efektif membuat frustrasi pasukan NICA. Mereka tahu ada "mata-mata licin" yang terus menghubungkan Jakarta dan gerilyawan.
Lie Eng Hok menjadi salah satu individu yang paling dicari oleh intelijen Belanda. Namanya masuk daftar hitam, dan ada hadiah besar bagi siapa saja yang bisa menyerahkannya hidup atau mati. Ini menunjukkan betapa vitalnya peran komunikasi rabasa bagi perlawanan.
Setiap kali sebuah pesan penting sampai ke tujuan, Belanda tahu Lie Eng Hok telah berhasil lolos lagi. Keberhasilannya terus-menerus memberikan pukulan psikologis bagi upaya intelijen Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan, Lie Eng Hok yang telah bertaruh nyawa itu kembali ke kehidupan sipil. Perjuangannya yang sunyi namun vital adalah pengingat bahwa kemerdekaan tidak hanya direbut oleh pahlawan yang mengangkat senjata, tetapi juga oleh mereka yang bergerak dalam bayang-bayang, menyambung tali kehidupan Republik.
Lie Eng Hok meninggal pada tahun 2011 dan diakui sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, sebuah pengakuan atas jasanya yang tak ternilai bagi persatuan bangsa.
Sumber Utama Peristiwa dan Detail:
Buku Kisah-kisah Perjuangan Tionghoa Indonesia dalam Kemerdekaan (Leo Suryadinata).
Arsip Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Catatan Sejarah Lokal Bogor dan Jakarta (Periode 1945–1949).
