Sukabumi, 10 Desember 2025 – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi akhirnya menjatuhkan vonis berbeda bagi dua terdakwa dalam kasus penyiraman air keras yang mengguncang. Vonis tersebut membuktikan perbedaan peran yang signifikan, sebagaimana yang selama ini ditekankan oleh penuntut umum dan kuasa hukum korban.
Harianto alias Harri, yang disebut-sebut sebagai otak dan perencana, dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subsider 3 bulan kurungan. Sementara Yuri, yang dieksekusi sebagai pelaku penyiraman, divonis 1 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp 30 juta, subsider 3 bulan kurungan.
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya meminta 8 tahun untuk Harianto dan 2 tahun 10 bulan untuk Yuri. Meski demikian, kuasa hukum korban, Dasep Rahman Hakim dari DRH & Partners, menilai vonis ini telah proporsional.
"Putusan Majelis Hakim telah sesuai dengan perbuatan dan peran masing-masing terdakwa. Dalam berita sebelumnya saya menyampaikan, Majelis hakim pasti akan menilai berdasarkan peran dan perbuatan. Saya yakin vonis yang akan dijatuhkan tidak akan sama. Dan hari ini terbukti," tegas Dasep seusai sidang.
Peran Berbeda, Vonis Berbeda
Sejak awal,Dasep telah menggarisbawahi perbedaan tajam peran kedua pelaku. "Melihat fakta persidangan, jelas bahwa terdakwa Hari merupakan otak pelaku. Semua skenario direncanakan olehnya, yang kemudian menyeret terdakwa Yuri untuk terlibat," ujarnya.
Ia juga menanggapi keluhan Yuri di media sosial dengan mengungkap fakta bahwa keluarga Yuri pernah memohon maaf kepada korban. "Pihak korban secara moral memaafkan. Namun, karena perkara ini sudah masuk ranah hukum, biarlah pengadilan yang menilai sejauh mana kesalahan terdakwa," jelasnya.
Di balik angka hukuman,penderitaan korban, Ibu Yuli, masih sangat nyata. Dalam pernyataannya di persidangan, ia mengungkapkan luka fisik dan ekonomi yang dalam. "Akibat penyiraman air keras itu, saya mengalami cacat permanen di bagian wajah, dada, paha, dan tangan. Saya harus menjalani operasi berulang kali, dan hingga kini belum sembuh. Anak saya juga mengalami cacat permanen di punggung dan kepala," ungkap Yuli dengan pilu.
Kehidupan ekonominya pun porak-poranda. "Saya hidup sebatang kara bersama anak dan berbulan-bulan tidak bisa bekerja karena luka bakar yang saya alami," tambahnya.
Vonis yang dijatuhkan hari ini menutup babak persidangan, tetapi babak pemulihan bagi Ibu Yuli dan anaknya masih terus berlanjut. Putusan hakim menjadi penegas bahwa hukum membedakan dan memberikan sanksi setimpal bagi setiap tingkat keterlibatan dalam sebuah kejahatan, sekaligus mengakui penderitaan mendalam yang harus ditanggung korban.
Najib
