Gresik, - Gelombang konflik sosial mengguncang Dusun Banyuurip. Insiden bermula ketika Ketua RT Hasan melontarkan ucapan bernada penghinaan terhadap seorang warga, Jack Santoso, di hadapan Kepala Dusun (Kasun) Sulaiman. Namun bukan Hasan saja yang menjadi sorotan, sikap Kasun Sulaiman yang mengangguk dan mengiyakan ucapan tersebut dinilai publik sebagai bentuk persetujuan pasif yang dapat menjeratnya secara hukum.
Menurut keterangan sejumlah saksi, kejadian itu berlangsung di rumah Sulaiman. Saat Jack melintas, Hasan berkata dengan nada tinggi, “Itu Jack, penyakitnya Dusun Banyuurip!” Sulaiman yang mendengar pernyataan itu tidak menegur atau meluruskan, bahkan mengangguk mengiyakan. Reaksi itu dianggap sebagai bentuk pembenaran dari seorang pejabat dusun terhadap ujaran yang mencemarkan nama warga.
Secara hukum, Sulaiman tidak bisa berlindung di balik diam. Dalam konteks sosial dan jabatan publik, sikap mengiyakan atau menyetujui pernyataan yang mengandung unsur pencemaran dapat dikategorikan sebagai turut serta dalam tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.
Pasal 55 Ayat (1) KUHP – Turut Serta Melakukan Tindak Pidana,
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Dengan mengangguk dan mengiyakan pernyataan penghinaan di hadapan orang lain, Sulaiman dianggap turut serta memperkuat unsur pencemaran nama baik yang dilakukan Hasan.
Ucapan “penyakit Dusun Banyuurip” sendiri memenuhi unsur Pasal 310 Ayat (1) KUHP tentang pencemaran nama baik, yang menyebut:
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan maksud supaya diketahui umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp4.500.000.
Jika tuduhan terhadap Jack tidak dapat dibuktikan, maka baik Hasan maupun Sulaiman dapat dijerat Pasal 311 Ayat (1) KUHP tentang fitnah, dengan ancaman pidana 4 tahun penjara.
Selain itu, sikap membiarkan dan mengafirmasi pernyataan yang merendahkan martabat warga juga dapat dinilai sebagai pelanggaran etik pemerintahan. Dalam perspektif UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan tersebut melanggar asas kepatutan dan keadilan sosial yang wajib dijaga oleh setiap perangkat desa.
Sebagai kepala dusun, Sulaiman memiliki posisi strategis sebagai penengah dan pelindung warga. Diamnya pejabat publik dalam situasi penghinaan tidak dapat dipandang netral — melainkan sebagai sikap pembiaran yang mencederai integritas jabatan. Dalam etika pemerintahan, pembiaran terhadap perbuatan tercela sama dengan menyetujui terjadinya pelanggaran sosial.
Konflik ini menimbulkan keresahan di masyarakat. Beberapa warga menilai Kasun Sulaiman gagal menjaga wibawa pemerintah dusun dan justru memperburuk hubungan antarwarga.
Kasus Banyuurip ini memperlihatkan bahwa diam bukan berarti bebas dari tanggung jawab hukum.
Sikap Kasun Sulaiman yang mengiyakan ucapan Ketua RT Hasan terhadap Jack Santoso dapat dikategorikan turut serta dalam tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 310–311 KUHP.
Apabila proses hukum berlanjut, Sulaiman bisa menghadapi ancaman pidana hingga 4 tahun penjara, serta sanksi administratif sebagai perangkat desa.
Kasus ini menjadi preseden tegas: seorang pejabat desa tidak hanya dinilai dari kata-kata yang diucapkan, tetapi juga dari diamnya yang membenarkan ketidakadilan.
Red