Bangkalan, — Peristiwa hilangnya dua artefak bersejarah yang sangat penting dari koleksi Museum Cakraningrat Bangkalan telah memicu kegeraman dan kecaman keras dari Dinasti Madura, yang menyebutnya sebagai “Pencemaran Budaya & Penghinaan Warisan Leluhur.” Kerugian yang terjadi bukan sekadar hilangnya aset materil, melainkan tercederainya martabat budaya dan identitas masyarakat Madura karena dua benda yang dicuri memiliki kedalaman sejarah yang tak ternilai. Dua benda yang menjadi sasaran pencurian tersebut adalah lempengan kuningan dari gamelan Ratna Dumilah dan sebuah lonceng kuno, keduanya merupakan simbol penting dari jaringan sejarah dan kekerabatan Dinasti Madura dengan kekuasaan Jawa dan Belanda di masa lalu.
Nilai sejarah gamelan Ki Ratna Dumilah jauh melampaui keindahan musikalnya; lempengan kuningan yang hilang ini adalah bagian dari gamelan yang secara khusus merupakan mahar pernikahan (mas kawin) antara Susuhunan Pakubuwana VII dari Kasunanan Surakarta dengan puteri Sultan Cakraadiningrat II dari Madura. Keberadaan gamelan ini di Museum Cakraningrat adalah saksi bisu dan penanda fisik dari penyatuan dua dinasti besar—Madura dan Jawa—yang membentuk sejarah peradaban Nusantara, bahkan perpindahannya dari Jawa ke Madura tercatat dilakukan menggunakan perahu legendaris Ki Rajamala. Oleh karena itu, hilangnya artefak ini berarti terputusnya narasi sejarah yang vital mengenai ikatan kekerabatan politik dan budaya antarwilayah yang sangat penting di Nusantara.
Sementara itu, artefak kedua yang dicuri, yakni sebuah lonceng kuno, memiliki nilai historis diplomatik yang tinggi. Lonceng ini dibuat secara khusus untuk memperingati suatu kehormatan luar biasa yang diperoleh Sultan Cakraadiningrat. Nilai tersebut dipertegas secara visual melalui medali ornamen Commander Ship (Ridder Orde) yang dianugerahkan oleh Raja Belanda kepada Sultan Cakraadiningrat sembilan tahun sebelum pembuatan lonceng itu. Penghargaan ini merupakan dambaan lama sang Sultan, bagian dari upayanya agar diakui sebagai pengikut langsung (vasal) Raja Belanda, sebuah langkah strategis untuk menegaskan otonomi dan martabatnya di mata kolonial (Hageman 1858: 21). Oleh karena itu, lonceng ini adalah monumen visual dari pencapaian politik dan upaya Madura untuk memposisikan diri dalam konstelasi kekuasaan Hindia Belanda, dan hilangnya lonceng ini turut menghapus sebagian memori kolektif tentang perjuangan martabat para leluhur.
Menurut RM. Agus Suryoadikusumo, Pemangku Adat Dinasti Madura, pencurian ini adalah bentuk penghinaan terhadap warisan leluhur yang seharusnya dijaga dan dihormati. Ia menegaskan, “Benda-benda itu bukan sekadar artefak fisik, mereka adalah saksi bisu perjalanan peradaban, simbol identitas budaya yang harus dilindungi dengan sepenuh hati. Hilangnya mereka adalah luka dalam bagi komunitas Madura.” Lebih lanjut, ia juga menyoroti indikasi adanya keterlibatan orang dalam yang semakin memperparah situasi, menyebutnya sebagai "pengkhianatan terhadap amanah budaya" yang diemban oleh lembaga-lembaga pelestari adat dan masyarakat. Kasus ini telah segera dilaporkan pada tanggal 4 Agustus 2025 kepada Polres Bangkalan dengan nomor laporan STTLPM/443/Satreskrim/VIII/2025/SPKT/Polres Bangkalan, yang mengidentifikasi kemungkinan adanya unsur pencurian terencana. Dinasti Madura mendesak agar aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini, menangkap pelaku, dan mengembalikan artefak-artefak bersejarah ini ke tempatnya semula. Suryoadikusumo menekankan bahwa kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi semua instansi budaya dan masyarakat untuk meningkatkan pengawasan, keamanan, dan protokol pelestarian agar warisan leluhur yang merupakan penanda identitas bangsa ini tidak hilang tak berbekas.
Red