Catatan Dr. Suriyanto Pd.,SH.,MH.,M.Kn
Jakarta, - Indonesia adalah negeri yang kaya, dengan tanah yang subur, dan kekayaan alam yang melimpah. Pertanian dan perkebunan yang subur, industri kelapa sawit, pengolahan gula kelapa dan gula semut, dan banyak lagi yang menjadi satu tolak ukur kayanya alam di Indonesia. Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.
Tentu hal itu sangat membanggakan bagi kita bangsa Indonesia. Tapi sayang, tak semua masyarakat Indonesia menyadarinya, bahkan jika ada yang menyadarinya pun tak mampu berbuat banyak, terlebih campur tangan bangsa lain yang sering menjadikan masyarakat Indonesia sebagai ‘kuli’ di ladang sendiri.
Dari hal inilah, kita generasi muda harus lebih mencintai, menghargai, dan bangga akan apa yang dimilikinya, agar apa yang telah dianugerahkan Tuhan pada bangsa ini dapat diolah dengan baik, dan tidak diambil alih oleh bangsa lain.
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), yang ditandai dengan pertumbuhan PDB, swasembada pangan, dan penurunan angka kemiskinan. Pembangunan infrastruktur juga menjadi fokus utama melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Era keemasan tersebut diciptakan untuk tinggal landas menjadi negara kuat dan maju sesuai program repelita yang dibangun oleh Pak Harto demi rakyat dan bangsa Indonesia sejahtera adil dan makmur.
Namun, periode ini juga disertai dengan harga yang harus dibayar, seperti ketergantungan pada teknologi asing dan dampak dari krisis ekonomi 1998 yang mengakhiri rezim tersebut, yang kemudian dikenal dengan era reformasi.
Era reformasi yang diharapkan dapat merubah kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik, ternyata era ini semakin menyengsarakan rakyat.
Kepastian hukum yang tajam kebawah tumpul ke atas, kekayaan hanya milik segelintir golongan dan elit, tingkat pendidikan hancur berantakan dibuktikan dengan sarjana strata satu digaji dengan UMR, harga pangan tidak stabil, kekayaan SDA dieksploitasi untuk kepentingan asing dan golongan, rakyat dibebani oleh pajak di semua lini dan banyak lagi kegagalan reformasi lainnya.
Partai politik berdiri seperti kerajaan yang mengatur kepentingan kelompok bukan kepentingan rakyat, dalam kegundahan era reformasi yang tidak pasti, muncul sosok pemimpin waras di Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau karib dipanggil KDM (Kang Dedi Mulyadi)
KDM seorang pemimpin yang terlahir dari rahim orang biasa yang benar-benar bekerja untuk rakyat Jawa Barat dengan segenap jiwa raganya untuk tidak membodohkan rakyat, tetapi berkerja untuk mensejahterakan rakyatnya di semua bidang.
Akankan Indonesia dapat memiliki pemimpin negrinya seperti pemimpin Jawabarat KDM...? Agar reformasi dapat berjalan sesuai dengan tuntutannya.
Satu hal yang melekat pada KDM adalah gayanya yang merakyat. Ia lebih sering turun langsung ke lapangan, blusukan, dan mendengar keluhan warga tanpa protokoler kaku. Dalam banyak kesempatan, KDM terlihat mengobrol santai dengan pedagang kaki lima, petani, atau pelajar, sambil melontarkan humor khas Sunda yang renyah.
Ia juga sering menggunakan bahasa yang lugas—kadang menohok, kadang menggelitik—untuk mengkritik atau memberi masukan, baik kepada masyarakat maupun pejabat.
KDM kerap mengatakan bahwa jabatan hanyalah amanah yang harus digunakan untuk memberi manfaat. Ia percaya pembangunan tak hanya soal beton dan infrastruktur, tapi juga membangun karakter manusia.
Dengan rekam jejak dan kiprahnya, tak heran kalau nama KDM terus diperbincangkan—bukan sekadar sebagai politisi, tapi juga sebagai figur yang menginspirasi
Semua keputusan ada di tangan rakyat Indonesia untuk sadar memilih pemimpinya di tahun 2029, tidak lagi memilih karena money politik atau cara kotor lainnya, agar Indonesia terbebas dari pembodohan dan pemiskinan yang diciptakan oleh segelintir penjajah bangsa yang berasal dari bangsanya sendiri.
*) Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia